Senin, 25 Juni 2012


Demokrasi dan Demokratisasi Indonesia
Oleh: Abdurrahman Wahid
Demokrasi adalah keadaan tertentu yang memiliki beberapa ciri, antara lain
harus bertumpu pada kedaulatan hukum dan memberikan perlakuan yang sama
pada semua warga negara di hadapan undang-undang. Ini harus ditunjang oleh
kemerdekaan berbicara, kebebasan berpikir dan sikap menghormati pluralitas
pandangan. Lebih jauh lagi, ia berarti keharusan memelihara dan melindungi
hak-hak pihak minoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi semua
hal itu mengacu kepada kepentingan umum yaitu kepentingan bersama sebagai
bangsa dan negara. Dalam keadaan demokrasi itu berjalan sepenuhnya, orang
tidak memiliki ketakutan akan berpendapat atau berkelakuan yang aneh-aneh.
Kepentingan bangsa ditentukan oleh mayoritas pemberi suara dalam pemilihan
umum yang diandaikan menjadi wahana “kedaulatan rakyat”.
Untuk mencapai demokrasi seperti itu, dibutuhkan sebuah proses
demokratisasi. Proses ini berjalan lambat, dan terkadang cepat. Demokrasi
akan nampak terwujud dengan membentuk lembaga-lembaga demokratis dengan
cepat, walaupun adanya lembaga-lembaga itu tidak menjamin tradisi demokrasi
dapat tegak dan cepat. Pemerintah Orde Baru telah membentuk DPR-RI, MPR RI,
BPK dan MA; tetapi tradisi berdemokrasi ternyata tidak tumbuh di dalamnya.
Sang penguasa menentukan segara–galanya, sehingga lembaga-lembaga yang
mencerminkan demokrasi itu kehilangan arti bagi kita dan kita merasa
terpasung dalam pemasungan kemerdekaan pers, kemerdekaan berpikir, dan
bermacam-macam kemerdekaan lain. Kita merasa tercekik sehingga akhirnyapun
kita tidak percaya akan tegaknya demokrasi di negeri ini. Demokratisasi
telah gagal. Sekarang, kata demokrasi digantikan oleh kata reformasi.
Parpol yang semula tampak memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsa,
ternyata hanya mementingkan kebutuhan sendiri atau kepentingan golongan.
Eksekutif, kehilangan arah mana yang harus dijadikan ukuran tentang
“kepentingan rakyat” itu. Akhirnya, ‘kepentingan bersama’ parpol
masing-masing dijadikan ukuran hingga hancurlah ukuran-ukuran kepentingan
rakyat itu, dalam artian kepentingan untuk menjaga kedaulatan partai-partai
atas pemerintahan.Karena mereka telah dicap mengkhianati demokrasi, maka
parpol-parpol itu lalu memanipulasi kata-kata reformasi/pembaruan. Ini
berarti “pencurian di siang bolong”, padahal mereka lebih memetingkan
bagaimana ‘menggunakan’ uang negara baik langsung maupun tidak langsung
untuk memenangkan pemilu legislatif maupun Presiden dalam waktu dekat ini.
Ada yang mengeruk habis kekayaan BUMN (sehingga diberitakan melalui kabar
angin, bahwa sebuah parpol menargetkan 5 triliyun rupiah untuk membiayai
kemenangan pemilu tahun depan). Uang ‘amplop’ dimanfaatkan dan diminta
-kalau perlu dengan cara-cara melanggar undang-undang-, setiap Kepala
Daerah (Gubernur, Bupati dan Wali Kota) “diharuskan” membayar upeti demi
memenangkan partai politik yang bersangkutan dalam pemilihan yang akan
datang.
****
Dalam keadaan demikian, sudah tentu proses demokratisasi menjadi sangat
terganggu. Penegakkan kedaulatan hukum menjadi tidak ada, pemberantasan KKN
hanya menjadi buah bibir saja, itupun kalau masih disebut. Uang ‘aspal’
beredar dalam jumlah yang sangat besar, tanpa tindakan apapun terhadap
pelakunya. Sebenarnya nama-nama mereka yang terlibat dalam percetakan dan
pengedaran uang palsu itu dapat ditanyakan, bahkan kepada “orang jalanan”.
Ketika seorang anggota DPR-RI “mengancam” mempersoalkan hal itu secara
terbuka, maka segera ia dihadapkan kepada kenyataan lain, bahwa parpol di
mana ia sendiri turut serta di dalmnya juga lebih korup dari pihak yang ia
ketahui menerima uang aspal tersebut.
Demikian jauh penegakkan kedaulatan hukum telah dilecehkan orang, sehingga
banyak orang sudah mulai putus asa, dapakah hal itu diwujudkan di negeri
kita? Cukup banyak orang yang berkesimpulan, bahwa demokrasi tidak mungkin
diwujudkan di Indonesia saat ini, lalu dengan demikian tidak ada gunanya
melakukan tindakan-tindakan mendorong kemunculannya dalam kehidupan
sehari-hari berarti, tidak ada gunanya melakukan upaya demokratisasi di
negeri kita. Karena itu, wajar saja jika lalu muncul “kesimpulan” bahwa
bangsa kita memang lebih senang hidup di bawah pemerintahan Orde Baru di
saat ini. Paling tidak, pemerintahan Orde Baru memberikan kepastian kita,
apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan tingkat hidup ada.
Jika perasaan ini cukup luas dalam masyarakat, barangkali perjuangan
menegakkan demokrasi akan menjadi lebih berat daripada dahulu. Walaupun
tidak ada “tragedi Trisakti” maupun “penembakan Semanggi”, tapi efek
perkembangan politik “yang damai” sekarang ini jauh lebih buruk bagi proses
demokratisasi. Pihak kepolisian negara dan aparat-aparat hukum lainnya,
menggunakan kembali pasal-pasal lama dari undang-undang kolonial yang
seharusnya sudah diubah. Karena DPR-RI sudah sibuk dengan bagi-bagi uang
dan segala macam fasilitas yang memanjakan hidup para anggotanya, maka
mayoritas suara menolak tiap upaya melakukan pembaharuan undang-undang.
Karena pihak eksekutif telah dikuasai oleh birokrasi yang hanya
mementingkan diri sendiri belaka, maka kepentingan rakyat yang hakiki akan
pembaharuan hukum yang dilakukan dengan serius, dengan sendirinya tidak
mungkin dilakukan. Akibatnya bunyi beberapa undang-undang seperti tentang,
Otonomi Daerah dan sejenisnya hanya melahirkan “raja-raja kecil“ yang tidak
dapat lagi di kontrol, dan menetapkan kebijakan secara serampangan.
Bagaimana di Kutai Kartanegara dan Kab. Gorontalo ada “proyek raksasa” yang
akan membuat daerah bersangkutan “cemerlang namanya” bisa dilarang oleh
Gubernur yang korup.
****
Cukup banyak orang yang meminta penulis berhenti berbicara tentang
demokrasi dan proses demokratisasi. Penulis menolak “ajakan” itu, karena ia
masih percaya bahwa masih harus ada yang memperjuangkan kedua hal tersebut.
Ini bagaikan upaya mendirikan forum demokrasi di masa lampau, jadi penulis
tidak akan mundur. Memang, terdapat perbedaan kualitatif antara upaya
menegakkan demokrasi yang sebenarnya dan memulai proses demokratisasi
sekarang dan dahulu, setidak-tidaknya dalam hal resiko fisik yang harus
dihadapi. Tetapi, bukankah esensinya sama antara kedua hal itu? Penulis
mengetahui, upaya mengembangkan demokratisasi saat ini tidak dihadapi
secara fisik oleh aparat negara, melainkan oleh “para preman” yang
dibiarkan bersimaharajalela tanpa ada upaya menindak mereka sama sekali.
Bahkan sementara aparat negara justru “membantu’ mereka secara diam-diam,
karena mereka enyediakan dana bagi kepentingan aparat negara yang
bersangkutan. Karenanya, mengatakan usaha demokratisasi memang mudah,
tetapi mewujudkannya dalam kenyataan merupakan kerja sangat sulit, bukan? []
Jakarta, 12 November 2003