Memacu Ekonomi Domestik |
Monday, 14 November 2011 | |
Dalam beberapa pekan terakhir terjadi sejumlah perkembangan menarik di
Tanah Air. Pertama, langkah penurunan suku bunga yang sangat mengejutkan
oleh Bank Indonesia (secara pribadi saya terkejut dengan penurunan itu,
juga besarannya). Kedua, pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai kinerja perekonomian Indonesia pada kuartal III/ 2011.Ketiga,hasil riset AC Nielsen mengenai tingkat kepercayaan konsumen global. Kesemuanya itu terjadi di tengah krisis perekonomian global yang dewasa ini menghantui banyak negara maju di Eropa dan Amerika Serikat,selain Jepang yang sudah beberapa lama mengalami kelesuan dalam perekonomian mereka. Bagaimana kita membaca berbagai perkembangan tersebut? Saya yakin, banyak pelaku bisnis merasa waswas dengan perekonomian global saat ini. Beberapa waktu lalu, seorang pengusaha barang konsumen menanyakan kepada saya bagaimana sikap yang harus dia ambil menghadapi krisis perekonomian global tersebut? Pada intinya dia khawatir dengan apa yang terjadi di Eropa dan tentunya menjadi waswas kalau yang terjadi di bagian dunia lain tersebut akan memengaruhi perkembangan usahanya. Saya kira hal ini merupakan hal yang sangat normal terjadi.Oleh karena itu melihat hal-hal yang dikemukakan di awal tulisan ini, kita mencoba melihat dalam perspektif lebih luas apa implikasi perekonomian global tersebut terhadap perekonomian Indonesia? Pekan lalu BPS mengeluarkan laporan kinerja perekonomian Indonesia untuk kuartal III/2011. Dalam laporan tersebut dikatakan, perekonomian Indonesia masih melaju dengan kecepatan 6,5%. Tentunya tidak semua orang sama dalam menanggapi laporan tersebut. Sebagian masyarakat berpikir, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 6,6% pada 2011 sebagaimana yang pernah disampaikan beberapa kali oleh Bank Indonesia dan Asian Development Bank. Dengan latar belakang tersebut, pertumbuhan ekonomi 6,5% tampaknya masih sedikit lebih rendah dibandingkan dengan prediksi kedua institusi tersebut. Kendati demikian, secara relatif, pertumbuhan sebesar 6,5% jelas suatu pertumbuhan yang sangat terhormat (respectable) dalam konteks perekonomian global saat ini. Terlebih lagi dengan melihat ukuran Indonesia yang sebentar lagi akan mencapai ukuran perekonomian USD1 triliun, maka pertumbuhan sebesar itu tentu sangat membantu berkontribusi bagi pertumbuhan perekonomian global. Yang menarik juga dalam laporan BPS, kontribusi utama pertumbuhan ekonomi adalah ekspor yang mengalami pertumbuhan sangat tinggi. Memang luar biasa perkembangan yang kita alami saat ini karena dalam keadaan krisis di belahan dunia lain, seharusnya ekspor Indonesialah yang pertamatama terkena dampak tersebut. Namun ternyata tidak demikian halnya. Selain harga komoditas yang masih baik, terutama harga minyak sawit, karet, dan batu bara, ekspor Indonesia semakin lama juga semakin dipenuhi dengan barang- barang hasil industri seperti elektronik (banyak perusahaan PMA yang lebih banyak mengekspor televisi LCD ke luar negeri dibandingkan dengan menjualnya ke dalam negeri),mobil maupun produk industri tradisional seperti tekstil dan produk tekstil lainnya yang tahun ini juga mengalami kenaikan ekspor dan sangat mungkin akan mencapai hasil ekspor di atas USD13 miliar. Perkembangan tersebut tampaknya semakin mengukuhkan Indonesia sebagai basis produksi dari berbagai jenis industri, yang selain memberikan banyak lapangan kerja,juga memberi kebanggaan yang sangat besar kepada kita semua. Baru-baru ini dalam perjalanan saya ke Brescia di Italia utara, saya merasa sangat tergugah dengan lewatnya mobil Daihatsu Terios di depan hotel tempat saya menginap di kota tersebut. Saya merasa bangga karena bagaimanapun Daihatsu Terios di dunia ini hanya diproduksi di Sunter,Jakarta. Dalam laporan itu juga terdapat perkembangan yang menarik, yaitu semakin kukuhnya sektor industri pengolahan sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi yang besar.Industri pengolahan secara keseluruhan mengalami pertumbuhan sebesar 6,6%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB secara keseluruhan. Bahkan karena stagnannya industri pengolahan migas (karena tidak adanya refinery baru), pertumbuhan industri pengolahan nonmigas meningkat menjadi hampir 7%. Ini suatu tingkat pertumbuhan yang membanggakan. Di tengah adanya “tuduhan” pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tidak berkualitas,data ini justru menunjukkan bangunnya sektor industri manufaktur yang umumnya memberikan lapangan kerja yang besar. Lewat sudah masa deindustrialisasi. Jika kuartal depan pertumbuhan sektor industri pengolahan mengalami kenaikan lebih lanjut, bukan tidak mungkin sektor tersebut akan menjadi penyumbang pertumbuhan yang paling besar (pada kuartal III yang lalu sumbangannya sebesar 1,7%, sama dengan sektor perdagangan, restoran,dan hotel). Jika hal ini terjadi, kita mungkin sudah bisa berbesar hati karena ternyata pertumbuhan ekonomi yang terjadi menjadi industry led growth sebagaimana tulisan saya pekan lalu di media ini. Oleh karena itu, langkah Bank Indonesia menurunkan suku bunga pekan lalu merupakan tambahan momentum bagi perekonomian Indonesia untuk lebih memacu pertumbuhan ekonomi, terutama domestik. Industri automotif akan banyak terpacu karena sangat mungkin suku bunga kredit mobil dan motor akan mengalami penurunan sehingga semakin menolong bisnis mereka. Demikian juga pada saat yang sama biaya investasi pada keseluruhan perekonomian Indonesia menjadi menurun sehingga investasi mestinya akan semakin marak terjadi. Dengan demikian, peningkatan ekonomi domestik akan semakin mampu mengompensasi perkembangan ekspor jika terjadi kelesuan di dunia. Hal inilah yang umumnya disebut sebagai rebalancing the economy. Oleh karena itu,dalam kaitan inilah merupakan suatu hal yang membanggakan melihat bahwa tingkat kepercayaan konsumen Indonesia saat ini menurut survei AC Nielsen justru menunjukkan tingkat paling tinggi di dunia. Di tengah krisis kepercayaan global,tingginya kepercayaan konsumen ini akan semakin menarik minat pelaku industri global untuk masuk Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang besar, tingkat pendapatan per kapita yang telah melampaui USD3.000,serta tingkat kepercayaan konsumen yang sangat tinggi,bagi pelaku industri global hal ini merupakan bonanza bagi bisnis mereka. Dan kita sungguh berharap,minat tersebut akan semakin mengukuhkan Indonesia sebagai basis produksi mereka di Asia Tenggara maupun dunia. CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO Pengamat Ekonomi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar